Bagaimana yah sebenernya cara orang seharusnya menentukan seseorang itu pintar atau bodoh? Atau sebenernya kepintaran orang itu gak boleh atau gak perlu diukur? Sering juga orang bilang kalau seseorang mendapat nilai bagus di sekolah, atau memiliki pekerjaan dengan pangkat tinggi, pasti orang itu pintar. Tapi, setelah 3 hari bekerja di pabrik kertas, aku menyadari kalau penentuan kepintaran seseorang berdasarkan nilai atau pangkat itu sangatlah tidak adil.
dari hari Senin sampai Rabu kemarin ini aku bekerja di pabrik kertas 'Werola' di Rastatt. Di pabrik ini aku bekerja mengumpulkan kertas kreps yg keluar dari mesin. Axel adalah nama orang yang diberikan tanggung jawab untuk mengontrol kerja kami dan mengoperasikan mesin ini.
Ternyata mesin kertas ini adalah mesin tua. Pada hari pertama bekerja, mesin ini sedikit bermasalah dan membuatku 'untung' karena tidak perlu bekerja banyak. Karena tidak banyak pekerjaan yang perlu aku lakukan, pikiran-pikiranku bisa melayang kemana-mana dan memunculkan berbagai macam pendapat. Kalau kulihat semua pekerja-pekerja disana,mereka hanyalah dan tidak lain adalah buruh pabrik. Tak bisa kubayangkan berdiri setiap hari 8 jam dan bekerja di depan mesin yang sama tiap harinya. Pekerjaan seperti itu bisa membuatku gila. Tapi, pekerjaan inilah yang dikerjakan oleh para buruh pabrik setiap hari dan bahkan bisa selamanya. Jika kusamakan dengan buruh pabrik di Indonesia, maka mereka sepertinya cuma pekerja kecil dengan gaji Euro, yang jika mau dikurskan ke Rupiah, pasti gaji buruh disini lebih besar daripada gaji buruh di Indonesia. Dan selama 3 hari ini aku adalah bagian dari mereka. Aku adalah seorang buruh.
Hari itu juga aku sering melihat bagaimana Axel sering dijadikan bahan bercandaan oleh teman-temannya. Tak bisa kularang dan kusalahkan jika para pekerja pabrik selalu menggoda Axel. Pekerjaan disitu sangat membosankan dan monoton. Jika setiap harinya terlewati tanpa canda, pastilah mereka sudah dibuat gila oleh mesin2 itu. Selain itu, perawakan Axel yang pendek dan gendut, mata melotot, cara berbicara yang selalu kumur-kumur tak jelas, serta celana jeansnya yang selalu melorot sehingga memperlihatkan pantatnya kemana-mana, membuat ia tidak bisa terhindar dari godaan teman-temannya. Jika diungkapkan secara kasar, para pekerja yang ada menganggap Axel dari perilaku dan perawakannya sebagai 'orang bodoh'. Dan aku yang baru bekerja satu hari disitu dapat mengiyakannya.
Pada hari kedua aku sempat menyadari beberapa hal baru dan mulai menimbang-nimbang kembali pendapat dan judgement yang telah aku ambil kemarin.
1. Seorang teman kerjaku, seorang ibu setengah baya dari Rusia mengatakan bahwa Axel adalah pekerja yang baik. Ia mengatakan demikian karena Axel selalu bekerja (terlihat jelas kesibukannya di mata kita) sedangkan teman-temannya hanya berdiri dan ber-blablabla, mengobrol dan menggoda Axel. Perkataan ibu ini membuatku memperhatikan aktivitas pekerja yang ada disekelilingku selama waktu kosong yang ada. Leo, seorang pekerja yang paling sering kudengar menggoda Axel, memang sebagian besar waktunya diisi dengan berbicara. Tipe pekerjaannya pula yang membuat ia sering berbicara karena dia hanya mengontrol jalannya mesin kertas kado. Axel di lain sisi, kusadari adalah seorang pekerja yang perfeksionis. Tiap-tiap pekerjaannya dilakukan dengan hati-hati dan teliti. Kuambil kesimpulan bahwa sepertinya orang yang 'bodoh' itu lebih teliti dan rapi kerjanya daripada orang yang biasa. Kesimpulan besar dari pemikiran ini: Axel memang pekerja yang baik.
2. Ketika istirahat makan siang, timbul suatu masalah kecil yang menggelitik otak ini untuk berpikir kembali dan berpendapat. Ada seorang ibu-ibu pekerja yang menimbulkan masalah karena ia mengusir seseorang pekerja yang lain, karena ternyata pekerja yang lain ini telah menduduki terlebih dahulu tempat duduk favoritnya. Teman-temannya mengatakan padanya untuk tidak perlu memperdebatkannya. Tapi dilain pihak, si ibu ini nampaknya masih sangat konsisten pada pikirannya. Ia mengatakan dengan lantang dan keras bahwa dia tidak ingin tempatnya direbut dan dia berhak untuk merebutnya kembali. Selain itu dia mengatakan bahwa para pekerja yang tidak tetap (aku dan 3 temanku...) tidak berhak duduk di barisan kursi para wanita dan seharusnya duduk bersama pria. Sempat membikinku kaget pikiran ibu ini. Suatu ucapan dan pikiran yang bodoh dan tolol serta kekanak-kanakan bisa keluar dari mulut seorang ibu yang sifat dan perawakannya seperti seorang yang pintar (gak tau sih bener pintar atau gak, tapi yang pasti lebih pintar daripada Axel). Seorang ibu yang cukup umur mempersalahkan tempat duduk seperti anak TK. Padahal di tempat duduk itu tidak tercantum nama siapa-siapa, yang artinya semua orang berhak duduk di tempat itu.
3. Ketika menunggu mobil untuk pulang dari kerja, aku melihat pekerja-pekerja tetap yang lain pulang pula. Dan yang mengagetkan untukku, mereka tampak sangat berkecukupan hidupnya. Beberapa mengendarai mobil,, dan tak tanggung-tanggung, mobil yang dikendarai adalah Mercedez Benz. Apakah mungkin harga sebuah Mercedez di negara produsennya menjadi sangat murah dan bisa dijadikan alat transportasi masyarakat awam? Walaupun beberapa tidak mengendarai Mercedez, tapi mereka setidaknya mengendarai Peugeot 407 yang kutau juga tidak murah harganya. Rasa kasihan langsung muncul di dalam diri untuk para buruh di Indonesia. Buruh di Indonesia diberi upah sangat rendah hingga untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susah. Humm.. apakah sebesar itukah jauhnya jika para pekerja dibayar dengan Euro dan tidak dengan Rupiah? Aku rasa tidak... Rasanya yang tidak beres adalah undang-undang dan pemerintahan akan tenaga kerja yang ada. Semoga saja hal ini akan dapat diperbaiki dengan secepatnya. Iba aku pada mereka di indonesia.
Dari hari kedua aku melangkah ke hari ketiga. Di hari ketiga ini aku sudah nyaman dengan segala situasi dan orang-orang disekelilingku karena aku merasa sudah lebih mengenal mereka. Hal yang 'menarik' datang lagi ketika waktu istirahat tiba. Ketika aku masuk ke dalam ruangan, terdapat satu meja kecil untuk 5 orang terpisah dari barisan-barisan meja para pekerja wanita dan lelaki. Secara otomatis aku dan teman-temanku (kami total berempat) mengetahui bahwa meja itu disediakan khusus untuk kami. Pikiran kami itu ternyata tidak salah karena sang Ibu pekerja yang marah-marah kemarin itu mengatakan dengan jelas dan lugas kepada kami bahwa Meja itu adalah meja EXTRA dan khusus untuk kami. Huh..betapa menyebalkannya tingkah laku si ibu itu. Bener2 tolol tindakannya.
Tak lama dari itu, satu hal yang mengagetkan lagi muncul. Axel yang baru masuk belakangan ke ruang kantin itu memilih untuk duduk bersama kami daripada bersama dengan rekan pekerja prianya. Kami berempat sangat kaget , surprise dan senang melihat sikapnya. Kejadian ini juga membuatku otakku memutar kembali segala catatan-catatan dan pikiran serta pendapat yang telah kubuat sejak hari pertama. Dibuat semakin ragu aku akan kebenaran pendapat yang telah kubuat. Axel yang dari luar selalu tampak bodoh, ternyata tidak sebodoh yang aku kira. Dia bisa menentukan mana yang benar dan salah. Dia bisa mengambil tindakan untuk duduk bersama kita dan tidak menggubris pendapat sang ibu rese itu. Hal ini juga membuat sang ibu yang seperti awalnya sangat pintar langsung terlihat bodoh (lebih bodoh daripada Axel pastinya..)
Lalu sebenarnya bagaimana caranya kita menentukan seseorang itu pintar atau bodoh? Siapa sebenarnya yang pintar? Axel atau Ibu?
Friday, September 15, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment